Author : UnknownTidak ada komentar
Pada tanggal 13 Juni 2013, tim penyiapan Proyek Perlindungan Dugong dan Padang Lamun di Bintan yang terdiri dari Didi Sadili, Sarminto Hadi, Heri Rasdiana (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan M. Hutomo dan Erix S. Hayadie (Yayasan LAMINA) telah melakukan sosialisasi di Bintan. Sosialisasi dilakukan dalam bentuk lokakarya dan diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bintan. Pertemuan dihadiri oleh instansi terkait dan wakil-wakil dari desa yang ada dugong-nya (Desa Berakit dan Pengudang, Desa Busung dan Desa Air Klubi). Pertemuan dibuka oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kabupaten Bintan, dilanjutkan pengantar diskusi oleh Bapak Didi Sadili (Kepala Subdirektorat Konservasi Jenis Ikan, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan). Pertemuan dimulai dengan pemaparan Rencana Desain Proyek Konservasi Dugong dan Padang Lamun oleh Dr. Malikusworo Hutomo (Ketua Yayasan LAMINA) dan dilajutkan dengan diskusi informal yang dipandu oleh Sdr Sabidin.
Pada sesi diskusi dalam sosialisasi, Kepala Desa Air Klubi, Kecamatan Bintan Timur, memperkenalkan Bapak Musa (61 tahun) sebagai warga suku laut yang mata pencahariannya memburu dugong dengan cara menombak. Kepala Desa Air Klubi dan Bapak Musa ini sengaja diundang oleh penyelenggara sosialisasi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan) untuk hadir karena Bapak Musa ini baru saja (Mei 2013) menombak dugong induknya dan menangkap anaknya. Anak dugong yang masih hidup tersebut dibeli oleh seseorang seharga Rp. 4.500.000. sedangkan daging dugong yang berasal dari induk yang ditombak dijual ke pasar seharga Rp 30 ribu/kg. Kepala Desa menjelaskan apabila penangkapan dugong ini dilarang, maka salah satu warganya ini akan kehilangan mata pencaharian satu-satunya. Beliau mohon perhatian dari pihak pemerintah untuk mencarikan jalan pemecahan untuk membantu Bapak Musa ini, apabila mau dialihkan profesinya dari penombak dugong ke profesi lain. Berbagai tanggapan disampaikan oleh peserta yang hadir, yang pada pokoknya agar kehidupan dugong dan mata pencaharian alternatif Pak Musa ini tetap berjalan seiring.
Pada saat makan siang, penulis dan teman-teman diantaranya Didi Sadili (Kepala Sub-Direktorat Konservasi Jenis Ikan) dan bapak Erix S Haryadie satu meja dengan Bapak Musa. Pada kesempatan tersebut kami berbincang secara santai dengan Bapak Musa yang tetap didampingi Kepala Desa Air Klubi. Pak Musa adalah salah satu turunan Suku Laut yang secara turun temurun mendiami laut yang ada di wilayah Kepulauan Riau. Suku ini dahulunya selalu hidup atas perahu di laut, tidak pernah memiliki rumah atau berkehidupan dari ekosistem daratan. Seratus persen, hidup Suku Laut mengandalkan kepada sumberdaya laut. Mereka berkehidupan secara berkelompok, nomaden, dan masih berkeyakinan secara animisme. Mulai tahun 1970-an, Suku Laut beralih hidupnya dari atas laut ke berkehidupan di darat dengan salah satunya memiliki rumah serta aset daratan lainnya. Keyakinan mereka-pun beralih dari animisme ke penganut Agama. Dimana sebagian ada yang masuk agama Islam dan sebagian ada yang masuk ke Katolik. Katolik masuk ke komunitas Suku Laut berbarengan dengan kegiatan para Misionaris kepada 'manusia perahu' di tempat penampungan sementaranya di pulau Galang yang letaknya masih satu gugusan pulau di provinsi Kepulauan Riau. Istilah 'manusia perahu' adalah merujuk bagi warga negara Vietnam yang keluar dari negaranya dengan menggunakan perahu untuk berimigrasi ke Amerika dan negara lainnya, karena pada saat itu di negaranya sedang berkecamuk perang.
Sewaktu ngobrol santai dengan kami, secara runut Pak Musa yang sudah turun temurun berprofesi menombak dugong, dia menjelaskan bagaimana cara berburu digong dengan tombak. Pak Musa ini tahu kapan saat dan dimana dugong ini berada. Awal pemburuan dia mempergunakan pompong (kapal motor kecil), dan kalau sudah relatif dekat dia beralih mempergunakan penggerak dayung agar perahunya tidak bersuara sama sekali. Setelah diperkirakan jarak dengan dugong cukup, dilemparlah tombaknya yang terbuat dari kayu dengan ujungnya dari besi yang diikat dengan tali kecil yang terbuat dari kulit kayu. Lemparan tombaknya dilakukan secara mendatar sedikit di atas permukaan laut. Menurut dia, karena cara menombaknya secara mendatar tidak melambung dulu ke atas baru menurun ke sasaran, maka setiap lemparan tombaknya hampir tidak pernah meleset, selalu tepat mengenai badang dugong yang menjadi sasarannya. Dugong yang terkena tombak akan lari berenang kesana kemari, tetapi Pak Musa tetap berada di lokasi tersebut. Menurut dia, dugong yang terkena tombak apabila akan mati, pasti kembali ke tempat dimana dugong tersebut terkena tombak. Dalam setahun, dia dapat menangkap dugong antara 4 s/d 5 ekor. Jumlah ini relatif besar karena populasi dugong di tempat-tempat di Indonesia umumnya dan khususnya di Bintan tidak besar, sekitar hanya puluhan ekor saja. Maka hilangnya 4 sampai 5 ekor setahun merupakan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan populasinya. Ancaman lebih serius apabila dugong yang ditombak tersebut betina yang bersama dengan anaknya yang masih menyusui.
Sewaktu ngobrol santai dengan kami, secara runut Pak Musa yang sudah turun temurun berprofesi menombak dugong, dia menjelaskan bagaimana cara berburu digong dengan tombak. Pak Musa ini tahu kapan saat dan dimana dugong ini berada. Awal pemburuan dia mempergunakan pompong (kapal motor kecil), dan kalau sudah relatif dekat dia beralih mempergunakan penggerak dayung agar perahunya tidak bersuara sama sekali. Setelah diperkirakan jarak dengan dugong cukup, dilemparlah tombaknya yang terbuat dari kayu dengan ujungnya dari besi yang diikat dengan tali kecil yang terbuat dari kulit kayu. Lemparan tombaknya dilakukan secara mendatar sedikit di atas permukaan laut. Menurut dia, karena cara menombaknya secara mendatar tidak melambung dulu ke atas baru menurun ke sasaran, maka setiap lemparan tombaknya hampir tidak pernah meleset, selalu tepat mengenai badang dugong yang menjadi sasarannya. Dugong yang terkena tombak akan lari berenang kesana kemari, tetapi Pak Musa tetap berada di lokasi tersebut. Menurut dia, dugong yang terkena tombak apabila akan mati, pasti kembali ke tempat dimana dugong tersebut terkena tombak. Dalam setahun, dia dapat menangkap dugong antara 4 s/d 5 ekor. Jumlah ini relatif besar karena populasi dugong di tempat-tempat di Indonesia umumnya dan khususnya di Bintan tidak besar, sekitar hanya puluhan ekor saja. Maka hilangnya 4 sampai 5 ekor setahun merupakan ancaman yang serius terhadap keberlanjutan populasinya. Ancaman lebih serius apabila dugong yang ditombak tersebut betina yang bersama dengan anaknya yang masih menyusui.
Lokasi perburuan dugong Pak Musa berada di sekitar P. Pangkil, salah satu pulau paling selatan di Kecamatan Bintan Timur (Kijang) dan sudah dekat dengan P. Galang yang termasuk wilayah Batam. Informasi selanjutnya yang diberikan dia, anak dugong yang tertangkap hidup dibeli oleh seseorang dari Batam yang mempunyai restoran di daerah Sekupang, Batam. Informasi ini akan ditindak lanjuti dengan pengecekan lapangan oleh Sdr Sabidin, Kepala UPT Konservasi di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Bintan. Rekan Sabidin ini tahu anakan dugong ini akan diapakan. Banyak pertanyaan muncul tentang hal ini. Apakah akan dimanfaatkan untuk atraksi mengundang pengunjung restoran atau dijual ke negara lain yang terdekat. Ada informasi lain dari seorang warga di Desa Busung, dekat Lobam, bahwa dugong yang tertangkap hidup di daerah tersebut biasa dibeli oleh seseorang dari P. Kubung di wilayah Batam. Informasi ini juga penting yang mengindikasikan masih adanya perdagangan dugong hidup di wilayah sekitar P. Bintan.
Informasi tambahan, dari desa Berakit di kabupaten Bintan juga, ada salah seorang yang memiliki profesi penombak dugong, namun saat ini dia sudah tidak melakukannya lagi. Panggilan beliau adalah Pak Boncet yang nama lengkapnya adalah Bone Pasius Boncet. Pak Boncet adalah keturunan suku Laut juga dan kini sudah hidup menetap di darat di desa Berakit, tidak lagi hidup nomaden di atas kapal perahu.
Semua peristiwa dan informasi di atas tadi, akan menjadi bahan dan tantangan bagi Proyek Perlindungan Dugong dan Padang Lamun di Bintan yang didukung hibah pendanaan oleh GEF/UNEP (Global Environment Facility/United Nations Environment Program), suatu lembaga perlindungan lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Informasi tambahan, dari desa Berakit di kabupaten Bintan juga, ada salah seorang yang memiliki profesi penombak dugong, namun saat ini dia sudah tidak melakukannya lagi. Panggilan beliau adalah Pak Boncet yang nama lengkapnya adalah Bone Pasius Boncet. Pak Boncet adalah keturunan suku Laut juga dan kini sudah hidup menetap di darat di desa Berakit, tidak lagi hidup nomaden di atas kapal perahu.
Semua peristiwa dan informasi di atas tadi, akan menjadi bahan dan tantangan bagi Proyek Perlindungan Dugong dan Padang Lamun di Bintan yang didukung hibah pendanaan oleh GEF/UNEP (Global Environment Facility/United Nations Environment Program), suatu lembaga perlindungan lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penulis:Malikusworo Hutomo
20/6/2013
Dugong, Jenis Satwa dengan status Dilindungi
Pesisir Bintan, salah satu habitat Dugong di Indonesia
Pak Musa (61) salah satu penombak dugong dari Bintan
Pak Musa bersama Pak Malikusworo Hutomo
Ngobrol santai Pak Musa dengan Didi Sadili
Pak Boncet, mantan penombak dugong dari desa Berakit
Posted On : Minggu, 23 Juni 2013Time : 19.05