Author : UnknownTidak ada komentar
CITES
CITES, Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora, atau merupakan kerjasama antar negara anggota dalam bentuk Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Satwa danTumbuhan Liar yang Terancam.
CITES dibentuk di Washington D. C pada tanggal 3 Maret 1973, dan mulai berlaku secara resmi pada tanggal 1 Juli 1975. Negara-negara yang telah melakukan ratifikasi, menerima atau menyetujui konvensi dan yang menandatangi konvensi disebut para pihak (parties). Indonesia meratifikasi segala ketentuan CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Yang berarti Indonesia menerapkan hukum perdagangan internasional satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku di CITES, dimana Konvensi, termasuk Teks Konvensi, Resolusi dan Keputusan CoP CITES beserta daftar apendiks-nya secara hukum menjadi mengikat. Namun demikian, ketentuan-ketentuan CITES tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pengganti hukum di masing-masing negara. Ketentuan CITES hanya berlaku untuk perdagangan internasional-nya saja, sehingga Legislasi Nasional masih diperlukan untuk implementasi ketentuan-ketentuan CITES di Indonesia.
Legilasi Nasional untuk pelaksanaan CITES di Indonesia, sedikitnya mengatur:
- penetapan satu atau lebih Management Authority (MA) dan Scientific Authority (SA),
- melarang perdagangan spesimen yang melanggar ketentuan konvensi,
- memberikan pinalti terhadap pelanggar di atas, dan
- memungkinkan penyitaan spesimen yang diperdagangkan atau dimiliki secara ilegal.
Management Authority (MA) dan Scientific Authority (SA)
Article IX dari Konvesi memberikan mandat kepada setiap negara pihak untuk menunjuk satu atau lebih Management Authorities (MA) yang berkompetenten menerbitkan izin atau sertifikat atas nama negara pihak, dan satu atau lebih Scientific Authorities (SA) yang tugasnya memberikan saran ilmiah kepada Management Authority.
Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1999 menunjuk Kementerian Kehutanan sebagai MA dan LIPI sebagai SA. Dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 60 tahun 2007 menunjuk Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai MA dan LIPI sebagai SA.
Management Authority bertanggung jawab dalam aspek administratif dari pelaksanaan CITES seperti: legislasi, pelaksanaan legislasi, penegakan hukum, perizinan, penetapan besaran kuota, pelaporan, serta komunikasi dengan institusi CITES negara lain. Sedangkan Scientific Authority bertanggung jawab untuk memberikan saran ilmiah kepada Management Authority mengenai: Non Detriment Findings/ NDF dan perkiraan besaran kuota dari perdagangan Apendiks I, II, dan III dan aspek-aspek ilmiah lainnya mengenai implementasi dan pemantauan perdagangan internasional.
Daftar Apendiks CITES
Setiap 3 tahun sekali, negara para pihak (parties) melaksanakan Konferensi Para Pihak atau CoP dimana dalam CoP tersebut dibahas usulan-usulan parties untuk memasukan ke dalam daftar (listing) atau mengeluarkan dari daftar (down listing) apendiks CITES. Apendiks CITES merupakan daftar jenis satwa dan tumbuhan liar terancam yang diatur perdagangannya sesuai tingkat keterancamannya. Katagori apendiks CITES adalah:
- Apendiks I. Daftar satwa dan tumbuhan liar yang masuk ke dalam apendiks I adalah jenis-jenis yang terancam punah sehingga dilarang dari segala perdagangan internasional-nya,
- Apendiks II. Adalah daftar satwa dan tumbuhan liar yang belum terancam punah, tetapi dapat menjadi terancam punah apabila perdagangannya tanpa pengaturan, dan
- Apendiks III adalah daftar jenis-jenis satwa dan tumbuhan liar yang diproteksi oleh suatu negara dan yang menginginkaan negara anggota untuk membantu melakukan kontrol terhadap ekspornya.
Pada CoP ke 16 pada bulan Maret 2013 di Bangkok, atas usulan dari beberapa negara para pihak (parties), ada 5 jenis hiu dan 2 jenis pari manta yang masuk daftar (listing) apendiks II CITES.
Jenis Hiu yang masuk daftar Apendiks II CITES pada CoP ke 16, adalah:
hiu martil |
Jenis Pari Manta yang masuk daftar Apendiks II CITES pada CoP ke 15, adalah: Manta alfredi dan Manta alfredi
Pada CoP sebelumnya jenis hiu gergaji (Pristis microdon) dan hiu paus (Rhyncodon typus) masuk dalam daftar apendiks CITES, namun karena pemerintah Indonesia telah menetapkan jenis hiu gergaji dan hiu paus sebagai jenis yang dilindungi atau dilindungi penuh, sehingga penangkapan, pedagangan, dan pemanfaatan yang bersifat ekstraktif tidak diperbolehkan / dilarang. Demikian juga dengan 2 jenis pari manta (alfredi dan birostris) yang telah ditetapkan sebagai jenis yang dilindungi penuh.
Sekali lagi, ketentuan perdagangan internasional atau ekspor-impor nya dari jenis hiu dan pari manta di atas akan mengikuti ketentuan CITES, tetapi perdagangan di dalam negeri akan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara para pihak masing-masing.
Sesuai ketentuan CITES, ketentuan perdagangan internasional dari jenis hiu dan pari manta yang masuk daftar apendiks CITES mulai berlaku setelah 1,5 tahun dari tanggal ditetapkan pada konferensi negara para pihak atau CoP. Lima jenis hiu dan 2 jenis pari manta masuk daftar apendiks CITES pada CoP ke 13 pada bulan Maret 2013, sehingga aturan perdagangan internasional-nya mulai akan diberlakukan pada tanggal 14 September 2014, atau tinggal 2,5 bulan lagi dari sekarang.
Apa yang mesti disiapkan untuk menghadapi ketentuan perdagangan hiu yang masuk daftar apendiks CITES?
Alternatif pilihan pelaksanaan/implementasi terkait perdagangan satwa dan tumbuhan liar terancam yang masuk daftar apendiks CITES oleh negara-negara para pihak (parties) adalah bersifat sukarela / volunteer. Pilihan tersebut adalah:
- Management Measure atau pengelolaan terukur, dan
- pengawasan/kontrol melalui mekanisme kuota.
Beberapa hal yang harus dilakukan apabila alternatif Management Measure yang dipilih, yaitu:
- penyusunan National Plan of Action (NPOA), sebuah perencanaan menyeluruh yang didalamnya berisi langkah apa yang akan diperbuat oleh siapa dan kapan jadwalnya,
- pelarangan penangkapan, bisa di beberapa tempat bisa juga secara nasional,
- penempatan enumeratoryang memantau tangkapan hiu di berbagai tempat yang diindikasikan sebagai pusat produksi atau pusat pendaratan ikan hiu. enumerator diperlukan untuk mendata potensi hiu di suatu tempat,
- identifikasi dan pembentukan asosiasi pedagang atau pengusaha ikan hiu. Individu atau asosiasi ini harus teregistrasi di sekretarian CITES, selain untuk kepentingan penetapan dan pemabagian kuota, serta yang lebih penting lagi adalah agar perdagangan satwa dan tumbuhan yang masuk daftar apendiks CITES berlangsung secara legal. CITES sangat konsern dengan perdagangan legal ini,
- upaya perbaikan populasinya,
- sosialisai, public awarness,
- pelaporan secara berkala, dll
Yang harus dilakukan apabila alternatif mekanisme kuota yang akan diterapkan:
- - Menyusun NDF, Non Detriment Findings atau besaran / jumlah pengambilan/penangkapan dari alam yang tidak akan merusak populasinya,
- - Setelah dilakukan kajian NDF kemudian ditentukan jumlah kuota penangkapan atau perdagangan hiu atau bagian-bagiannya,
- - Identifikasi dan pembentukan asosiasi pedagang, pengusaha hiu,
- - Upaya perbaikan populasinya,
- - Sosialisasi, public awarness,
- - Pelaporan secara berkala, dll
Beberapa negara tetangga, lebih memilih alternatif implementasi management measure dibandingkan dengan alternatif implementasi mekanisme kuota. Management measurerelatif lebih simple dibandingkan dengan alternatif mekanisme kuota. Hanya saja apabila alternatif yang dipilih adalah management measure, diperlukan kekuatan aparat pengawas di lapangannya. Aparat tersebut akan mendata asal usul tempat ditangkapkanya/didaratkannya hiu, jenis hiu yang tertangkap/didaratkan, pemasangan pemindai/barcode terhadap masing-masing hiu hasil tangkapan yang termasuk jenis apendiks CITES.
Kenapa mekanisme kuota lebih sulit untuk dilakukan? Karena mekanisme kuota membutuhkan data dan informasi yang akurat, salah satunya seperti besaran populasi hiu di alam perairan di negaranya. Padahal hiu termasuk jenis spesies migrasi / high migratory species yang tentunya untuk menghitung berapa jumlah populasinya / kajian stock akan menghadapi tingkat kesulitan yang tinggi dan juga di Indonesia, jumlah jenis hiu-nya banyak sekali, diperkirakan lebih dari 100 jenis.
Mekanisme kuota dalam rangka implementasi ketentuan perdagangan internasional ikan hiu dapat dipilih apakah kuota penangkapan atau kuaota perdagangannya? Kuota perdagangan dibedakan lagi menjadi kuota perdagangan hiu utuh, atau bagian-bagian dari tubuhnya seperti sirip, tulang, insang dan lainnya. Satuannya-pun harus ditetapkan, apakah dalam kilogram atau ekor? Contoh untuk ikan napoleon, yang dipilih adalah mekanisme kuota perdagangan dalam satuan ekor. Kuota perdagangan (ekspor) ikan napoleon dari Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 2000 ekor.
Lalu alternatif mana yang akan dipilih untuk implementasi perdagangan hiu apendiks CITES di Indonesia? Sepertinya akan memilih mekanisme kuota perdagangan sirip hiu kering. Apapun keputusannya, tentu adalah alternatif terbaik dalam rangka menjaga kelestarian jenis-jenis hiu yang kita miliki.
Pemisahan sirip dari tubuh hiu, finning Proses Pembersihan Sirip Hiu Direndam di air garam Direbus Prose pengeringan dengan dijemur Sirip hiu kering siap diperdagangkan |
Posted On : Minggu, 06 Juli 2014Time : 16.12