Author : UnknownTidak ada komentar
Ikan hiu merupakan ikan yang sangat rentan terhadap dampak penangkapan yang dilakukan secara berlebihan karena umumnya kelompok jenis hiu memiliki pertumbuhan yang lambat dan memerlukan waktu yang lama, bahkan hingga puluhan tahun untuk mencapai usia dewasa dan berkembang biak. Selain itu jumlah anak yang dihasilkan setiap tahunnya relatif sedikit dibandingkan dengan kelompok ikan yang bernilai ekonomis lainnya. Hal itu menyebabkan populasi ikan hiu di perairan dunia semakin menyusut dan jangan lupa juga, penurunan populasi ikan hiu lebih banyak disebabkan akibat ulah manusia seperti penangkapan yang berlebih (over exploited).
Menyadari akan hal tersebut, tidak salah kalau dunia melakukan kampanye secara gencar ‘selamatkan kehidupan hiu’ termasuk untuk tidak mengkonsumsi segala bagian dari tubuh ikan tersebut.
Ikan hiu sebagai top predator di dalam perairan adalah pelaku penyeimbang ekosistem tersebut. Kalau populasi ikan hiu berkurang banyak atau bahkan punah, apa jadinya keadaan keseimbangan populasi dari perairan tersebut? Di daratan savana afrika, yang menjadi top predator adalah singa, bayangkan kalau di savana Afrika tidak ada singa lagi. Kerbau liar dan lainnya akan merajalela dan akan menguras tumbuhan yang ada yang akan mempunahkan sebagian kehidupan disana maka ahirnya dunia akan ikut punah juga!
Perikanan hiu dan pari (Elasmobranchii) merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting di dunia. Data FAO melaporkan bahwa total tangkapan ikan-ikan Elasmobranch di dunia pada tahun 1994 mencapai 731 ribu ton. Dari jumlah tersebut, sumbangn dari negara-negara di Asia sekitar 60% dari total tangkapan tersebut. Empat negara di Asia berkontribusi sekitar 75% dari total tangkapan ikan hiu tersebut , yaitu Indonesia, India, Jepang dan Pakistan.
Perikanan Hiu Indonesia
Indonesia memiliki perairan yang terluas diantara negara-negara penghasil ikan hiu. Luas perairan teritorialnya saja 3,1 juta km2, kalau ditambah dengan perairan ZEE, luasannya menjadi 5,5 juta km2. Negara India sebagai penghasil ikan hiu nomor 2 setelah Indonesia, luas perairan lautnya tidak sampai separuhnya indonesia. Belum lagi keanekaragaman ikan hiu yang dimiliki Indonesia. Dari 200 jenis ikan hiu di dunia, ada 118 jenis hiu yang sudah teridentifikasi di Indonesia.Tahun 1990-an produksi ikan hiu Indonesia di atas 100 ribu ton setiap tahunnya dan sekarang produksi hiu Indonesia sekitar 60.000 ton/tahunnya.
Ditengarai pertumbuhan usaha perikanan hiu di Indonesia telah melebihi batas maximim suistanable yeild (MSY)-nya. Hal tersebut sudah mulai dirasakan oleh para nelayan dengan makin sulitnya menangkap hiu karena makin jauhnya lokasi penangkapan, jumlah hasil tangkapan menurun dan makin kecilnya ukuran yang ditangkap. Contohnya, bagi nelayan Tanjung Luar di Lombok, menangkap ikan hiu sampai ke perairan provinsi NTT sudah tidak ekonomis lagi. Biaya operasional melaut lebih tinggi dari penghasilan yang didapatnya. Selain permasalahan tersebut, hal lain yang terjadi pada perikanan hiu adalah belum adanya suatu strategi pengelolaan perikanan hiu nasional yang dapat diimplementasikan secara efektif. Sehingga pemahaman masyarakat maupun pelaku perikanan di Indonesia terhadap status konservasi sumber daya hiu masih sangat rendah.
Kepedulian Terhadap Konservasi Ikan Hiu
Kepedulian terhadap status konservasi ikan-ikan hiu yang terancam punah di Indonesia mulai muncul setelah banyak tekanan dan permintaan dunia internasional agar Indonesia turut dalam program perlindungan hewan-hewan yang terancam punah. Banyak lembaga-lembaga internasional pemerhati lingkungan dan konservasi menyoroti usaha perikanan hiu di negeri ini, bahkan Indonesia telah mendapat tekanan untuk dapat mengelola perikanan hiunya jika tidak ingin produk-produk perikanannya ditolak (banned) oleh negara-negara tujuan pasar produk perikanan kita. Namun demikian, perlu disadari juga bahwa pihak Indonesia bukan tidak ingin berbuat untuk meningkatkan upaya konservasi ikan hiu, tetapi karena masih kurangnya informasi mengenai data tangkapan, potensi, keragaman jenis, biologi dan tingkat eksploitasi ikan hiu di Indonesia sehingga menjadi kendala besar dalam menentukan dasar rasional bagi penerapan pengelolaan perikanan hiu yang berkelanjutan.
Regulasi Terkait Konservasi Ikan Hiu
Beberapa regulasi yang terkait secara langsung dengan konservasi ikan hiu, adalah:
1. Undang-Undang No. 31 tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan,
2. Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya,
3. Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
4. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa,
5. Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar,
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora,
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan,
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.04/MEN/2010 tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik ikan,
9. Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor PER. 05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan,
10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan,
11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas,
12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia,
13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 18/PERMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhyincodon typus),
14. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar,
15. Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.52/MENHUT-II/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi,
16. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50/M-DAG/PER/9/2013 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang dan Termasuk Dalam Daftar CITES.
Apakah peraturan tersebut sudah memadai? Peraturan untuk kegiatan perdagangannya atau pemanfaatannya, bisa dikatakan sudah memadai, tetapi untuk pemberian status perlindungan terhadap jenis-jenis ikan hiu, itu belum memadai karena hanya baru satu yang telah ada, yaitu untuk Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus). Begitu juga peraturan tentang tata cara penangkapan dan pemanfaatan ikan hiu yang sesuai kaidah konservasi, hal itu belum tersedia secara spesifik.
Beberapa Jenis Ikan Hiu Yang Perlu Status Perlindungannya
Jenis ikan hiu di Indonesia yang sudah teridentifikasi ada 118 jenis. Beberapa jenis diantaranya perlu diberikan perhatian terkait dengan upaya konservasinya. Konservasi adalah perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya. Kegiatan perlindungan diantaranya adalah memberikan status perlindungan, kegiatan pelestarian diantaranya adalah pengkayaan eks situ dan in situ, dan yang termasuk dalam kegiatan pemanfaatan adalah penentuan besaran kuota penangkapan ikan hiu dari perairan.
Beberapa jenis ikan hiu yang perlu mendapat perhatian terkait konservasinya adalah:
1. Sphyrna lewini (Griffith & Smith, 1834)
Sphyrna lewini (Scalloped hammerhead shark) memiliki beberapa nama lokal antara lain hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh, mungsing capil. Jenis ikan hiu ini merupakan kelompok hiu martil yang biasa ditemukan di perairan paparan benua, mulai dari perairan pantai hingga laut lepas, hidup di lapisan permukaan semi oseanik pelajik hingga pada kedalaman 275 m.
S. lewini merupakan salah satu jenis ikan yang telah masuk dalam daftar apendiks 2 pada CoP CITES ke 13 bulan Maret 2013, sesuai aturan CITES, pemberlakuan perdagangan internasionalnya akan mulai diterapkan pada bulan September 2014. Untuk itu pengaturan berbagai hal harus sudah disusun. Hal-hal yang perlu disiapkan antara lain terkait dengan kajian populasi/stock, analisis Non Detrimental Finding (NDF) atau analisis penangkapan ikan ini tidak akan merusak populasinya, keterkaitan posisi sosial ekonomi ikan hiu ini dengan masyarakat nelayan, perhitungan kuota penangkapan di tiap provinsi dal lain sebagainya.
2. Sphyrna mokarran (Ruppel, 1837)
Sphyrna mokarran (Great hammerhead shark) dikenal juga dengan nama lokal antara lain hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh, mungsing capil. Merupakan kelompok hiu martil terbesar yang hidup di perairan pantai dan daerah semi oseanik mulai dari lapisan permukaan hingga kedalaman 80m.
S. mokarran merupakan jenis ikan hiu yang tidak umum dijumpai di perairan Indonesia. Sebaran ikan ini diketahui berada di seluruh perairan tropis dan subtropics yang bersuhu hangat. Namun, di perairan Indonesia, sangat sedikit data yang mencatat ditemukannya jenis ini.
Tingginya tingkat eksploitasi terhadap kelompok hiu martil di seluruh perairan dunia menyebabkan keberadaannya di alam semakin terancam. Sehingga berdasarkan hasil CoP ke-16 CITES pada Bulan Maret 2013, kelompok hiu ini sepakat untuk dimasukkan ke dalam Apendiks 2 CITES. Dengan demikian, perdagangan internasional untuk komoditi ikan hiu tersebut dibatasi dan harus mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh CITES.
3. Sphyrna zygaena (Linnaeus, 1758)
Sphyrna zygaena (Smooth hammerhead shark) dikenal juga dengan nama hiu martil, hiu caping, hiu topeng, hiu bingkoh atau mungsing capil. Merupakan kelompok hiu martil yang hidup di daerah paparan benua dan daerah kepulauan dekat pantai hingga ke arah lepas pantai, mulai dari lapisan permukaan hingga kedalaman 20 meter atau lebih
S. zygaena merupakan jenis ikan hiu martil yang jarang ditemukan di perairan Indonesia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ini, tidak banyak jumlah ikan ini yang tercatat di daratkan di beberapa lokasi pendaratan ikan di Indonesia, khususnya di selatan Indonesia seperti Cilacap, Palabuhanratu dan Tanjung Luar Lombok. Jenis ikan ini kadang tertangkap oleh pancing rawai hiu ataupun rawai tuna. Sebarannya di Indonesia diduga di perairan Samudera Hindia dan sekitarnya. Karena minimnya data, maka populasinya sangat sulit untuk diprediksi.
Seperti halnya 2 jenis hiu martil yang telah disebutkan diatas, S zyganea telah masuk dalam daftar apendiks 2 CITES, sehingga pengaturan perdagangannya secara internasional harus mengikuti aturan yang berlaku di CITES. Untuk itu secara nasional, Indonesia harus menyiapkan berbagai hal terkait dengan upaya konservasinya, mulai dari aspek perlindungan, pelestarian, sampai aspek pemanfaatannya. Aspek perlindungan akan menyangkut terhadapat peraturan perlindungannya dan aspek pemanfaatnnya akan terkait dengan jumlah kuota penangkapan di tiap provinsi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi terhadap jenis ikan hiu ini.
4. Carcharhinus longimanus (Poey, 1961)
Carcharhinus longimanus (Oceanic whitetip shark) dikenal juga dengan nama lokal hiu koboy. Jenis hiu ini termasuk kelompok ikan hiu pelajik-oseanik yang ditemukan pada lapisan permukaan hingga kedalaman 152 meter, biasa ditemukan jauh di lepas pantai atau di dekat pulau-pulau terpencil yang memiliki paparan yang sempit. Bentuk siripnya yang khas yaitu dengan ujung membulat dan berwarna putih, memudahkan identifikasi untuk jenis ikan hiu ini.
Sebaran jenis hiu ini diketahui sangat luas di seluruh perairan tropis dan subtropis yang bersuhu hangat. Di perairan Indonesia tercatat ditemukan di perairan Samudera Hindia, mulai dari barat Sumatera hingga selatan Nusa Tenggara. Populasinya belum diketahui karena termasuk jarang tertangkap oleh nelayan. Berdasarkan hasil penelitian sejak 2001 hingga 2006 di perairan selatan Jawa, Bali dan Lombok, tidak banyak jenis C. longimanus yang didaratkan nelayan sebagai hasil tangkapan sampingan dari perikanan tuna maupun sebagai target tangkapan oleh nelayan jaring hiu di Lombok. Menyadari akan populasinya yang semakit menurun, sehingga pada CoP ke-16 CITES pada Bulan Maret 2013, mayoritas negara anggota CITES sepakat untuk memasukkan Carcharhinus longimanus ke dalam Apendiks 2 CITES. Dengan demikian, perdagangan internasional untuk komoditi ikan hiu tersebut dibatasi dan harus mengikuti regulasi yang ditetapkan oleh CITES. Dan mau tidak mau Indonesia harus mengikuti regulasi perdagangan internasionalnya. Untuk itu sudah seharusnya juga, indonesia segera menyiapkan aturan-aturan konservasi yang mengikuti aturan yang yang berlaku di CITES.
5. Alopias pelagicus (Pelagic Thresher Shark) atau lebih dikenal dengan nama hiu monyet atau hiu tikus, merupakan jenis ikan hiu oseanik yang hidup di lapisan permukaan hingga kedalaman 152 m (White et al., 2006b). Bentuk sirip ekornya yang panjang merupakan ciri khas dari kelompok ikan hiu dari Suku Alopiidae ini. Bentuk mata, posisi sirip punggung dan warna dari A. pelagicus merupakan karakteristik yang membedakan jenis ini dengan jenis Alopias yang lain.
Sebaran jenis hiu ini diketahui sangat luas di wilayah perairan Indo Pasifik. Sebarannya mencakup perairan Samudera Hindia, Australia, Pasifik utara bagian barat hingga Pasifik selatan bagian barat, sentral Pasifik dan wilayah Pasifik bagian timur. Di perairan Indonesia, jenis hiu ini tercatat ditemukan di perairan Samudera Hindia, mulai dari barat Sumatera hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Cina Selatan, Laut Pasifik, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Arafura. A. pelagicus sering tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan di dalam perikanan jaring tuna dan jaring lingkar (purse seine) yang beroperasi di perairan lepas pantai Samudera Hindia. Dugaan populasi di alam untuk jenis ikan hiu ini masih belum tersedia dikarenakan sifat ikan yang bermigrasi. Data ukuran dan data reproduksi belum tersedia secara akurat, walaupun data hasil tangkapan dari jenis ikan ini telah tersedia baik di tingkat daerah maupun nasional.
Alopias pelagicus merupakan salah satu jenis ikan hiu yang umumnya tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan di dalam perikanan tuna dan pelagis besar. Secara nasional, dalam kurun sepuluh tahun (2002-2011) telah terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan terhadap jenis ikan hiu ini hingga 300%.
Sejak tahun 2012, Indonesia telah mengadopsi resolusi IOTC 10/12 untuk melarang penangkapan ikan hiu dari Suku Alopiidae. Untuk lebih memperkuat ketentuan nasionalnya, seyogyanya mesti dibuat peraturan perlindungan terhadap jenis hiu ini.
6. Alopias superciliosus (Lowe, 1841)
Alopias superciliosus (Bigeye Thresher Shark) atau dikenal dengan nama hiu lutung atau hiu pahitan, merupakan jenis ikan hiu oseanik yang hidup mulai dari perairan pantai hingga laut lepas, dari lapisan permukaan hingga kedalaman 600 m. Bentuk sirip ekornya yang panjang merupakan ciri khas dari kelompok ikan hiu dari Suku Alopiidae ini. Bentuk matanya yang besar dan adanya guratan dalam di bagian tengkuknya merupakan karakteristik yang membedakan jenis ini dengan jenis Alopias yang lain.
Sebaran jenis hiu ini diketahui sangat luas di perairan tropis maupun sub tropis yang bersuhu hangat. Sebarannya diketahui mencakup perairan Samudera Atlantik bagian barat, Samudera Hindia hingga Pasifik bagian timur. Di perairan Indonesia, jenis hiu ini tercatat ditemukan di perairan Samudera Hindia, mulai dari barat Sumatera hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Pasifik, Selat Makassar, Laut Sulawesi dan Laut Banda. Tidak seperti jenis A.pelagicus, A.superciliosus tertangkap dalam jumlah yang relatif sedikit sebagai hasil tangkapan sampingan di dalam perikanan jaring tuna dan jaring lingkar (purse seine) yang beroperasi di perairan lepas pantai Samudera Hindia. Dugaan populasi di alam untuk jenis ikan hiu ini masih belum tersedia dikarenakan sifat ikan yang bermigrasi dan tidak adanya data ukuran dan data reproduksi secara akurat. Walaupun data tangkapan untuk jenis ini tersedia di tingkat daerah seperti di Cilacap dan Palabuhanratu, namun data hasil tangkapannya terlihat cenderung berfluktuatif sehingga tidak dapat menunjukkan tren adanya penurunan ataupun kenaikan jumlah produksinya.
Alopias superciliosus diketahui merupakan salah satu jenis ikan hiu yang tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan di dalam perikanan tuna dan pelagis besar, namun dalam jumlah yang relatif rendah. Kisaran rata-rata tangkapan A. superciliosus di Cilacap diketahui berkisar antara 0,1-1 ton/bulan. Berfluktuasinya hasil tangkapan dari ikan hiu jenis ini di dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, menyebabkan sulitnya untuk menentukan status keterancaman populasi jenis ikan ini di perairan Indonesia. Namun secara global, status jenis hiu tersebut telah tergolong pada rawan terancam (vulnerable) akibat adanya penurunan populasi pada beberapa wilayah di dunia, bahkan di perairan Atlantik, jenis hiu tersebut telah dikategorikan sebagai salah satu jenis yang terancam punah (Endangered) menurut versi IUCN (Amorim et al., 2009).
Beberapa Aturan Terkait Perikanan Hiu di RFMO
1. IOTC
Sejak tahun 2012, Indonesia telah mengadopsi resolusi IOTC 10/12 untuk melarang penangkapan ikan hiu dari Suku Alopiidae. Namun, sejauh ini upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan karena belum adanya sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat nelayan terkait penyadaran masyarakat untuk setidaknya mengurangi penangkapan terhadap jenis hiu tersebut di perairan Indonesia.
Ketentuan yang dikeluarkan IOTC tentang perikanan hiu adalah :
• Setiap Contracting Party wajib melaporkan tangkapan hiu, termasuk sejarah penangkapannya (historical catch);
• Setiap kapal penangkap dilarang untuk menyimpan di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain atau mendaratkan tangkapan sirip hiu yang bertentangan dengan Resolusi 05/05;
• Setiap negara wajib melepaskan tangkapan hiu yang hidup terutama juvenile dan hiu yang sedang hamil;
• Setiap negara wajib melakukan penelitian terhadap alat tangkap yang selektif.
Dalam resolusi IOTC 12/2009 tentang “the conservation of Thresher shark (Family Alopiidae) caught in association with fisheries in the IOTC area of competence”, ketentuan yang dikeluarkan adalah sebagai berikut:
• Setiap kapal dilarang untuk menahan di atas kapal, memindahkan dari/ke kapal lain, mendaratkan, menyimpan, menjual atau menawarkan untuk menjual bagian manapun atau seluruh bangkai semua jenis thresher shark dari Suku Alopiidae kecuali untuk kegiatan penelitian (scientific observation).
• Setiap kapal harus segera melepaskan thresher shark yang tertangkap tanpa melukainya.
• Setiap kapal harus mencatat dan melaporkan thresher shark yang tidak sengaja tertangkap dan yang dilepaskan.
• Dalam kegiatan rekreasi dan olahraga memancing, thresher shark yang tertangkap harus dilepas hidup–hidup dan harus dilengkapi dengan alat untuk melepaskan binatang.
• CPCs jika dimungkinkan melakukan penelitian mengenai hiu jenis Alopias spp. di area konvensi IOTC untuk mengidentifikasi daerah asuhannya.
• Scientific observer diperbolehkan untuk mengumpulkan sampel biologis thresher shark yang sudah mati sebagai bagian dari kegiatan yang disetujui oleh Scientific Committee.
• Setiap Contracting Party wajib melaporkan tangkapan hiu ke Sekretariat IOTC.
Untuk menindak lanjuti ketentuan tersebut, maka sejak tahun 2011 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) telah mengeluarkan larangan untuk tidak melakukan penangkapan terhadap ketiga jenis hiu dari suku Alopiidae yaitu Alopias pelagicus, A. superciliosus dan A. vulpinus di perairan Indonesia. Namun demikian pelarangan tersebut sampai saat ini masih belum efektif.
2. CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)
CCSBT telah memberlakukan ‘Recommendation to mitigate the impact on ecologically related species (ERS) of fishing for Southern Bluefin Tuna’ yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
• Setiap negara anggota wajib mengimplementasikan IPOA-Sharks, IPOA Seabirds dan FAO Sea Turtles;
• Setiap negara anggota wajib mematuhi peraturan mengikat maupun rekomendasi mengenai perlindungan dari ecological related species yang diberlakukan oleh IOTC dan WCPFC;
• Setiap negara anggota wajib mengumpulkan dan melaporkan data tangkapan ERS serta melaporkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam hal penanganan ERS.
3. WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission)
Ketentuan yang dikeluarkan komisi ini meliputi :
• Setiap negara wajib mengimplementasikan IPOA Sharks dan status pelaksanaan National Plan of Action Sharks serta menyampaikannya dalam laporan tahunan ke WCPFC;
• Setiap negara wajib melaporkan dalam laporan tahunan tangkapan jenis hiu biru/hiu karet (blue shark, Prionace glauca), hiu lanyaman (silky shark, Carcharhinus falciformis), hiu koboy (oceanic whitetip shark, Carcharhinus longimanus), hiu mako (mako sharks, Isurus spp) dan hiu tikus (thresher sharks, Alopias spp), termasuk juga tangkapan yang dipertahankan dan dibuang serta penelitian dan pengembangan yang dilakukan untuk mengurangi tangkapan hiu.
Pengelolaan Perikanan Hiu
Upaya pengelolaan perikanan hiu secara berkelanjutan menurut Rahardjo (2007) dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa kreteria :
1. Pembatasan jenis dan ukuran ikan terkecil
2. Pengaturan ukuran mata jaring atau pancing
3. Pembatasan jumlah penangkapan
4. Pembatasan alat tangkap
5. Kuota hasil tangkapan
6. Pembatasan upaya penangkapan
7. Penutupan daerah dan musim penangkapan
Adapun opsi pengelolaan perikanan telah dikembangkan oleh Merta et al. (2003) adalah sebagai berikut :
1) Pembatasan ukuran ikan hasil tangkapan (size limitation)
2) Pembatasan alat tangkap dan kapal penangkap ikan (vessel and gear limitation)
3) Zona bebas penangkapan (sanctuary zones)
4) Peningkatan monitoring, controlling, survaillance (MCS)
5) Penetapan quota tangkap (total allowable catch, TAC)
(Tulisan ini sebagian dikutip dari buku: Darmadi dan Fahmi. 2013. Pengelolaan Ikan hiu. Terbitan Direktorat KKJI)
Ikan Hiu Paus yang Terdampar di Kenjeran Surabaya (Nov 2013)
Pelelangan Ika Hiu Martil
Hiu Monyet atau Hiu Tikus yang Biasa Tertangkap Nelayan
Hiu Monyet atau Hiu Tikus jenis Pahitan atau Hiu Lutung
Hiu Koboy
Posted On : Minggu, 01 Desember 2013Time : 17.05